Home » , , , , , , , , » Ramai Negara Buang Dolar, Dominasi Amerika Serikat di Ujung Tanduk?

Ramai Negara Buang Dolar, Dominasi Amerika Serikat di Ujung Tanduk?

 FILE PHOTO: Dollar signs are seen alongside the signs for other currencies at a currency exchange shop in Hong Kong November 1, 2014.  A year-long investigation into allegations of collusion and manipulation by global currency traders is set to come to a head on Wednesday, with Britain's financial regulator and six big banks expected to agree a settlement involving around £1.5 billion ($2.38 billion) in fines. The settlement comes amid a revival of long-dormant volatility on foreign exchanges, where a steady rise in the U.S. dollar this year has depressed oil prices and the currencies of many commodity exporters such as Russia's rouble, Brazil's real and Nigeria's naira - setting the scene for more turbulence on world financial markets in 2015. Picture taken November 1, 2014. REUTERS/File Photo Foto: mata Uang (Reuters)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar AS yang sudah ratusan tahun menjadi acaun bagi investor, pelaku pasar dan pemangku kepentingan perdagangan global, kini mendapatkan perlawanan dari 'geng' ekonomi baru yang coba menlawan status quo. 

Perlawanan akan hegemoni dolar AS khususnya mencuat saat negara yang tergabung dalam BRICS berencana menciptakan alat pembayaran baru pada April 2023. BRICS sendiri adalah Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.

Rusia, yang memang bersitegang dengan Amerika Serikat (AS) karena perang Rusia-Ukraina, membuka suara soal potensi itu. Alat pembayaran baru akan diamankan dengan emas dan komoditas lain, termasuk elemen tanah jarang.

Sebenarnya, keinginan penggunaan mata uang lain di BRICS sudah tercetus sejak 2009, namun belum diimplementasikan. Kemudian, sanksi Barat yang diberikan ke Rusia pasca serangan ke Ukraina membuat Moskow "menggoreng" kembali isu itu.

Selain BRICS, isu dedolarisasi juga mencatat karena sejumlah negara juga dilaporkan mulai mengurangi ketergantungan dolarnya. Salah satunya, sekutu AS sendiri, Arab Saudi.

Beredar kabar bahwa Riyadh sedang dalam pembicaraan aktif dengan China terkait penggunaan mata uang Yuan untuk membeli minyak. The Wall Street Journal menulis, pembicaraan ini sebenarnya sudah terjadi selama enam tahun terakhir.

Namun ketidaksenangan Negeri Raja Salman pada komitmen keamanan AS pada kerajaan beberapa dekade ini membuat pembicaraan dengan Beijing kian gencar. Di bulan yang sama, tersebar kabar bahwa Presiden AS Joe Biden tidak okur dengan pemimpin de facto Arab Saudi, Putra Mahkota dan Perdana Menteri Mohammed bin Salman (MBS).

"Arab Saudi marah atas kurangnya dukungan AS untuk intervensi mereka dalam perang saudara Yaman dan atas upaya pemerintahan Biden untuk mencapai kesepakatan dengan Iran mengenai program nuklirnya," tulis media itu mengutip sumber kala itu.

"Para pejabat Arab Saudi mengatakan mereka terkejut dengan penarikan mendadak AS dari Afghanistan tahun lalu," tambahnya.

Di waktu yang sama, isu dedolarisasi juga panas karena Prancis dan China. Presiden Emmanuel Macron sempat menemui Presiden China Xi Jinping di mana Macron mengatakan Eropa harus mengurangi "ketergantungannya" pada AS.

Eropa, tegasnya, harus menghindarkan diri dari terseret ke dalam konfrontasi antara AS dan China atas Taiwan, yang sebenarnya hingga kini mesih terjadi. Macron, dimuat Politico, menekankan teori "otonomi strategis" untuk Eropa, yang mungkin dipimpin oleh Prancis untuk menjadi negara adikuasa ketiga.

AS Runtuh 2030?

Panasnya dedolarisasi ini juga dibumbui dengam pernyataan terkenal AS, Alferd McCoy pernah memprediksi "kekaisaran" Amerika akan runtuh. Hal ini bahkan dikatakannya sejak Donald Trump menjadi Presiden AS.

Dimuat Big Think, ia mengatakan terpilihnya Trump sebagai "gejala" melemahnya AS. Trump, ujarnya, mempercepat penurunan AS.

"Abad Amerika ... mungkin sudah compang-camping dan memudar pada tahun 2025 ... bisa berakhir pada tahun 2030," kata McCoy.

Menurutnya kenaikan harga, upah yang stagnan dan daya saing internasional yang mulai pudar akan datang. Ia menyalahkan puluhan tahun defisit yang tumbuh karena "peperangan yang tak henti-hentinya dilakukan AS di negeri-negeri jauh".

"Pada tahun 2030, dolar AS akan kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan dominan dunia, menandai hilangnya pengaruh kekaisaran," tambahnya penulis buku "The Politics of Heroin" tersebut.

Perubahan ini akan mendorong kenaikan harga yang dramatis untuk impor Amerika. Biaya perjalanan ke luar negeri untuk turis dan pasukan AS juga akan meningkat.

"Seperti negara adidaya yang memudar yang tidak mampu membayar tagihannya, Amerika kemudian akan terus ditantang oleh kekuatan seperti China, Rusia, Iran, dan lainnya untuk menguasai lautan, ruang angkasa, dan dunia maya," ujar pengarang "In The Shadow of the American Century: The Rise and Decline of US Global Power" ini.

Muncul Raja Baru Mata Uang Dunia

Isu ini pun makin seru karena seorang kolumnis Unherd, Thomas Fazi, juga menyoroti runtuhnya Marshal Plan AS. Dokumen itu adalah "kunci" yang membawa AS perkasa hingga 75 tahun terakhir ini.

Marshall Plan yang ditandatangani menjadi undang-undang oleh Presiden Harry S. Truman membuat Washington mengirim miliaran dolar bantuan ekonomi untuk membantu membangun kembali Eropa Barat setelah Perang Dunia II. Ini meletakkan dasar bagi terciptanya aliansi saling menguntungkan, saat AS menawarkan Eropa beberapa dekade kemakmuran ekonomi dan keamanan militer.

"Amerika menjadi negara besar pertama yang memberi makan dan mendukung yang ditaklukkan," tulis Fazi mengutip Truman.

Namun situasi saat ini berbeda. Menurutnya, di bawah Presiden Joe Biden Biden, Amerika mengejar kebijakan ekonomi isolasionis dan kebijakan luar negeri kaku, yang bertentangan dengan kepentingan vital Eropa.

Eropa kini mengalami penurunan produksi industri secara besar-besaran sementara pemerintah terpaksa membayar tagihan energi sebesar ratusan miliar euro sebagai akibat dari keputusan mereka untuk mengikuti strategi AS di Ukraina karena persoalan perang Rusia. Kerusuhan pecah di Prancis misalnya, dengan alasan inflasi dan kenaikan gaji.

"Dalam korteks ini, mengapa Eropa harus tetap berlabuh ke AS?" tanyanya.

Dikatakannya pula konflik di Ukraina telah mempercepat munculnya tatanan internasional baru. Di mana dominasi Amerika kehilangan daya tariknya.

Tindakan AS di Ukraina telah menyatukan dua musuh terbesarnya, yakni Rusia dan China. Di mana bersama dengan India, Arab Saudi, Turki, Brasil, Afrika Selatan, dan lusinan negara lain memunculkan negara blok perdagangan dinamis, yang AS bukan bagiannya,

"Hanya dalam beberapa hari terakhir, dua peristiwa penting memberikan dorongan lebih lanjut untuk tren ini," ia mencontohkan.

"Brasil dan China mencapai kesepakatan untuk berdagang menggunakan mata uang mereka sendiri daripada dolar AS. Sementara perusahaan minyak nasional China CNOOC dan TotalEnergies Prancis menyelesaikan perdagangan LNG pertama China diselesaikan dalam yuan," tambah penulis buku "The Covid Consensus" itu.

"Semuanya menunjuk pada meningkatnya isolasi AS dari seluruh dunia, dan penurunan dramatis dalam pengaruh dan kemampuannya untuk mengekstraksi sumber daya yang kemudian dapat didistribusikan ke negara-negara protektoratnya," tambahnya lagi.

"Dengan kata lain, Marshall Plant Amerika telah hilang dan sebagai gantinya, China berharap Belt and Road Initiative (BRI) miliknya akan menjadi mesin ekonomi baru dari blok pasca-Barat," tutupnya.


0 comments:

Post a Comment

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. BPFJAMBI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger