Jakarta, Beritasatu.com - Masyarakat umum dinilai semakin memahami karakteristik pinjaman online (pinjol) ilegal dan mulai menghindarinya. Namun di sisi lain, masyarakat masih menghadapi persoalan lainnya tentang pinjam-meminjam dari pinjol.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Friderica Widyasari Dewi menyampaikan, dalam berbagai kegiatan edukasi yang dilakukan OJK, disampaikan bahwa pinjol legal atau fintech p2p lending hanya diperbolehkan mengakses fitur camera, microphone, dan location atau disingkat camilan.
Jika akses yang diminta penyedia layanan pinjam-meminjam lebih dari itu, misalnya akses foto pribadi atau akses kontak, maka sudah bisa dipastikan yang menawarkan merupakan pinjol ilegal.
Menurut Friderica, salah satu cerminan bahwa masyarakat mulai paham untuk menghindari dan tidak lagi memanfaatkan layanan pinjol ilegal yakni data penurunan pengaduan. Per Januari 2023 tercatat ada sekitar 1.200 pengaduan. Angkanya terus menurun sampai Juni menjadi 275 pengaduan.
"Penanda membaiknya literasi tentang pinjol legal misalnya banyaknya pengaduan masyarakat atas proses penagihan untuk pinjol ilegal itu atas transaksi pada periode-periode sebelumnya. Sedangkan pengaduan tentang proses penagihan untuk transaksi dalam beberapa waktu belakangan relatif menurun," jelas Friderica dalam konferensi pers di Jkaarta, Selasa (4/5/2023).
Sebaliknya, pertanyaan atau kecenderungan untuk mengadopsi pinjol legal terbilang meningkat. Pertanyaan masyarakat tentang fintech p2p lending berizin berikut risiko-risikonya lewat Kontak 157 terpantau meningkat.
Namun, masalah lain muncul. Friderica mengungkapkan sejumlah temuan baru tentang perilaku dan fenomena masyarakat tentang pemanfaatan layanan pinjam-meminjam via pinjol.
Pertama, ada pihak-pihak sudah bisa memisahkan antara entitas legal dan ilegal, namun justru sengaja menggunakan layanan pinjol ilegal dengan tujuan mendapatkan dana. Mereka menyadari apa yang sedang dilakukan, tapi dengan sengaja pula enggan membayar pelunasan.
"Jadi dari awal mereka sudah tahu bahwa ini adalah pinjol ilegal, dari awal niatnya ngemplang. Hal-hal semacam itu memang ada di tengah masyarakat kita," ujar Friderica.
Fenomena kedua, ada sebagian dari pengguna yang memanfaatkan layanan pinjol legal, tetapi kesulitan dalam membayarkan utangnya. Ada beberapa faktor yang OJK temukan. Misalnya memakai dana yang diperoleh pinjaman untuk kebutuhan konsumtif seperti membeli gadget baru, rekreasi, memenuhi kebutuhan fesyen, atau untuk membeli tiket konser.
Sekalipun penggunaan dana sudah sesuai, memang sejumlah peminjam bisa saja menemui kesulitan bayar. Seperti UMKM yang menggunakan dana sebagai modal usaha, tetapi bisnis tidak berkembang sesuai harapan. Alhasil, mereka akan menemui kesulitan dalam membayarkan kewajiban hutangnya.
Fenomena ketiga, ada sebagian masyarakat yang mengajukan pinjaman kepada pinjol legal untuk memenuhi kebutuhan mendesak seperti berobat. Segmen peminjam ini memang berharap lebih dulu mendapatkan dana, tanpa peduli cara pengembalian atau memenuhi kewajiban setelahnya.
Sedangkan fenomena keempat yang perlu juga diantisipasi adalah oknum-oknum yang coba menawarkan imbal hasil investasi dengan besaran tertentu. Oknum ini mulai bergerak dengan meminta calon korban meminjam di layanan pinjol legal atau fintech lending. Namun dalam kenyataannya, dana yang telah didapat dari meminjam, lalu diberikan kepada oknum tersebut, tidak dikembalikan atau memberikan keuntungan. Dengan kata lain, dana tersebut dibawa kabur. Fenomena seperti ini juga sempat dialami ratusan mahasiswa IPB beberapa waktu lalu.
Oleh karena itu, Friderica mengingatkan masyarakat yang berniat meminjam dana agar berlaku bijak. Harus mengukur kemampuan untuk mengembalikan dana itu dan mempertimbangkan risiko-risiko yang mungkin terjadi di masa depan. Selain itu, hindari meminjam dana untuk kebutuhan konsumtif, serta selalu cek legalitas dari pihak-pihak yang menawarkan pinjaman.
0 comments:
Post a Comment