BI Serius Tinggalkan Dolar AS, Ogah Gantungkan Nasib ke Paman Sam

 

Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kerap kali tertekan ketika ada gejolak ekonomi global, seperti tingginya tren suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), yang kini di level 5,25%-5 50%.

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter BI Juli Budi Winantya menjelaskan, rentannya kurs rupiah terhadap dolar itu disebabkan tingginya ketergantungan transaksi barang dan jasa perdagangan internasional Indonesia dengan dolar AS.

Hal ini tercermin dari transaksi berjalan Indonesia yang masih mengalami defisit atau current account deficit. Pada kuartal II-2024, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 3 miliar atau 0,9% dari PDB. Artinya kebutuhan dolar lebih tinggi ketimbang pasokannya.

Bila kebutuhan dolar Indonesia bisa terus sesuai dengan pasokan yang ada, Juli memastikan mata uang Garuda akan lebih stabil ke depannya dari gejolak yang terjadi di AS. Sebagaimana halnya India yang kini tengah mengalami stabilitas nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi yang sangat kencang.

"Kalau India itu surplus dia ekspornya lebih besar dari impornya, baik ekspor barang, jasa, manufaktur, dan lain-lain itu lebih besar," kata Juli dalam diskusi di Nusa Dua, Bali, dikutip Senin (26/8/2024)

"Sehingga, kalau Fed Fund Rate menguat, semua negara kena. Tapi, dampaknya ke perekonomian yang beda. Kayak India, dia punya valas cukup, dolar menguat atau melemah enggak akan banyak pengaruhi mereka karena supply dolar di mereka cukup besar," tegasnya.Selama neraca transaksi berjalan defisit, Juli menegaskan maka pemenuhannya selama ini mau tidak mau harus ditutup dari luar negeri, dalam bentuk aliran modal asing ke instrumen investasi portofolio. Sayangnya, investasi portofolio itu hot money atau mudah keluar masuk, sehingga tidak memberikan kestabilan terhadap pasokan dolar.

"Makanya dari dulu sampai sekarang digencarkan structural reform, bagaimana memperkuat ekspor, bagaimana mengurangi ketergantungan impor, dan BI mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengharuskan transaksi dengan rupiah," ucap Juli.

Oleh sebab itu, Juli mengatakan, untuk menangani berbagai permasalahan itu, maka saat ini BI tengah gencar mengurangi ketergantungan transaksi dengan dolar, sambil memperkuat kinerja ekspor, baik barang dan jasa untuk mempertebal pasokan valas.

Salah satu kebijakan itu ialah melalui dorongan penggunaan mata uang lokal saat bertransaksi dengan mitra dagang utama. Kebijakan itu dikenal dengan istilah local currency settlement (LCS) atau local currency transaction (LCT).

Selain itu, pemerintah dan BI juga gencar mendorong para pelaku usaha untuk memarkirkan dolar hasil ekspornya di sistem keuangan domestik. Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA).

"Itu kan sudah mengurangi ketergantungan, mengurangi volatilitas dari US dolar," ungkap Juli.


Juli menekankan, sebetulnya defisit nya transaksi berjalan juga bukan berarti Indonesia asal-asalan dalam mengimpor barang dan jasa. Sebab, kerap kali impor berupa barang modal dan bahan baku yang sifatnya bisa mendukung nilai tambah bagi perekonomian domestik.

"Impor barang modal itu kita melihatnya sesuatu yang bukan harus kita khawatirkan secara berlebihan, karena ini impor barang modal untuk meningkatkan kapasitas ekonomi," tuturnya.

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. BPFJAMBI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger