Foto: Presiden Joko Widodo memberikan keterangan usai meninjjau RSUD Sibuhuan, Padang Lawas. (YouTUbe/Sekretariat Presiden)
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo atau Jokowi sempat mengutarakan kekhawatirannya terhadap peredaran uang yang semakin kering, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sekitar 5%. Hal ini dia sampaikan menjelang akhir masa jabatan.
Jokowi menilai masalah tersebut muncul karena Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BI menerbitkan terlalu banyak instrumen, yakni Surat Berharga Negara (SBN), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI).
"Jangan semuanya ramai membeli yang tadi saya sampaikan ke BI maupun SBN meski boleh-boleh saja tapi agar sektor riil bisa kelihatan lebih baik dari tahun yang lalu," ujar Jokowi di Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) di Kantor Pusat BI, Jakarta, dikutip Senin (12/2/2024).
Untuk diketahui, data BI menunjukkan, posisi M2 pada Desember 2023 tercatat sebesar Rp 8.824,7 triliun atau tumbuh 3,5% yoy. Angka pertumbuhan ini terpaut jauh dengan kondisi September yang masih menyentuh angka 6% yoy.
Satu di antaranya kondisi tersebut disebabkan oleh pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Per Desember 2023, DPK hanya tumbuh 3,8% yoy menjadi Rp 8.234,2 triliun, sedangkan kredit naik 10,38% yoy menjadi Rp 7.044,8 triliun.
Pertumbuhan DPK sebenarnya sudah lebih tinggi dibandingkan November 2023 (3,04%) dan Oktober 2023 (3,43%). Namun, bila dilihat dari posisi per Desember atau akhir tahun maka pertumbuhan tersebut adalah yang terendah sejak 1999 atau dalam 24 tahun terakhir.
Sementara itu Bank Indonesia melaporkan kondisi likuiditas perbankan pada awal tahun ini menguat. Pertumbuhan DPK naik menjadi 5,98% secara tahunan (yoy) per Januari 2024.
Pun berdasarkan catatan BI, rasio alat likuiditas terhadap DPK (AL/DPK) per Januari 2024 naik menjadi 27,78%.
Adapun capaian awal tahun ini meningkat signifikan dibandingkan dengan capaian Desember 2023, di mana DPK hanya naik 3,8% yoy.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa hal tersebut akan menjadi modal kuat mencapai target pertumbuhan kredit tahun ini sebesar 10%-12% secara tahunan.
"Dasar keyakinannya [pertumbuhan kredit] demand akan naik, pertumbuhan akan naik," katanya, dikutip Senin (18/3/2024).
Selain itu BI mengungkapkan saat ini sejumlah pelaku usaha perbankan mulai memindahkan dananya dari sejumlah instrumen keuangan seperti surat berharga untuk penyaluran kredit.
"Strategi bank-bank salurkan kredit untuk penuhi dananya di samping DPK adalah memindahkan dana yang sekarang di taruh di surat-surat berharga untuk penyaluran kredit," jelas Perry.
Terpisah, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan bahwa sektor jasa keuangan juga perlu mencermati kondisi geopolitik dan ekonomi global.
"Di Amerika Serikat capaian inflasi cenderung sticky di tengah pertumbuhan ekonomi yang solid, mendorong meningkatkan perkiraan no landing," katanya dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner OJK Februari 2024, dikutip Senin (18/3/2024).
Kemudian di Eropa, ekonomi Jerman dan Inggris mengalami kontraksi dan mulai memasuki resesi dengan tingkat inflasi yang cenderung turun. Sementara di China, perekonomian berada di bawah rata-rata historis dengan tekanan di pasar keuangan yang terpantau meningkat.
Dari sisi geopolitik, tingginya eskalasi di beberapa kawasan memunculkan risiko instabilitas yang berimbas pada kenaikan harga komoditas ke depan.
Dari dalam negeri, kata Mahendra, perekonomian terpantau solid, tercermin dari pertumbuhan ekonomi kuarta IV-2023 yang tumbuh 5,04% secara tahunan (yoy).
Hal ini didorong oleh konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga dan belanja investasi pemerintah terkait Ibu Kota Nusantara (IKN).
0 comments:
Post a Comment